Monday, April 21, 2008

Pengalaman LTSP di kantorku

Ketika migrasi Windows ke Linux seluruh PC di kantor, distro yang kupakai adalah Ubuntu 7.10, tetapi ada masalah ketika menjalankan freedos pada dosemu, sampai ingat ketika ada proyek migrasi Win ke Linux sebuah perusahaan bareng temanku, Cahyo Purnomo, akhirnya waktu itu pakai Ubuntu 7.04, karena freedosnya stabil berjalan di dosemu.

Oh ya, soal si Cahyo, semoga dia dapat pekerjaan yang bagus, ketika dia bareng aku garap proyek, kubuat hal ini sebagai test case (Cahyo sorry ya, waktu itu dikau tak uji habis, hehehe), menurutku, dia sanggup sebagai admin IT yang handal. Soal lupa/ bingung pada suatu langkah, itu suatu hal yang wajar, tinggal googling, banyak howto, literatur dan referensi yang tersedia. Same as I, kita semua sama-sama harus belajar. Kita bukan Superman. Thanx buat praktek freedosnya dan masukan soal Windows 2000 servernya. Back to topic.

Nah ketika proses migrasi ke Linux pada 12 PC client selesai, ternyata aku belum puas, karena Ubuntu yang jalan di semua PC tak semuanya cepat, terutama masukan dari stafku di bagian Umroh, OpenOffice loadingnya lama, begitu juga ketika buka/ edit dokumen. Menurutku wajar sih, karena prosesornya Celeron kelas P-II, dan memorynya 512 MB, Ubuntu masih terasa berat.

Akhirnya kuputuskan coba LTSP, Thanx buat Donny Christiaan, Manajer EDP yang kuganti semasa aku kerja di PT. Langgeng Makmur Industri, atas praktek K12LTSP-nya dan implementasi LTSP disana.

Serverku berspesifikasi: Intel Core 2 Duo, memory 2 GB, Harddisk 250 MB. Distro LTSP yang kucoba adalah Edubuntu 7.10 server, gampang instalasi dan settingnya, segampang K12LTSP-Fedora, cuma relatif lebih mudah sedikit. Tetapi ketika implementasi di client ternyata menemui hambatan, banyak yang hang ketika booting, ternyata Edubuntu 7.10 server yang berbasis LTSP 5, menuntut spesifikasi agak tinggi di sisi client, dan mungkin juga beda arsitektur antara server dengan client. Agak konyol, kuinstall Linux Mint dengan LTSP 5, ya jelas tetap menemukan permasalahan yang sama.

Akhirnya kucoba Fedora 8 dengan LTSP 4.2, ternyata ada masalah, ada service yang tak jalan, gak tanggung-tanggung, DHCP dan TFTP gak jalan. Wah, service ini yang penting agar client dapat booting. Sepertinya LTSP 4.2 tak sinkron dengan Fedora 8. Tapi akhirnya bisa juga, client dapat booting, cuma aku belum puas.

Kuganti CentOS 5.1 dengan LTSP 4.2, dan ternyata..berhasil dengan sukses, client juga bisa booting dengan sempurna. CentOS memang OK. Tapi herannya..aku masih belum puas coba-coba.

Akhirnya kupakai openSUSE 10.3 bersanding dengan LTSP 4.2, agak menantang.. dan akhirnya.. I did it!. Clientku bisa booting, tampil background nuansa hijau yang sejuk. Akhirnya kuputuskan distro ini yang kupakai di serverku. Eksperimenku membutuhkan waktu seminggu, soalnya kujalankan disela-sela kesibukanku di kantor. Yang lama adalah backup data semua client ke server baru.
Seluruh stafku puas, bahkan ada yang berkata, "Cantik nian desktop komputerku sekarang".

Masih ada yang harus kusetting lagi di LTSP-ku ini, seperti akses USB, hard disk di sisi client, instalasi mail server, fax server, PABX, VLAN, akses infra red keyboard dan mouse dan aplikasi spesifik kantor yang masih berbasis Windows (Tapi masih kucoba codingkan ke Pascal via Lazarus dan Gambas). Ohya tentunya mencoba teknik bonding antara speedy dan lintasarta.

Bagaimana dengan server lama, akhirnya kubuat jadi client saja. Mengenai bagaimana cara LTSP-ku jalan, nanti akan kujlentrehkan step-by step pada tulisanku berikutnya.

No comments: